Masyarakat madani menjadi
prasyarat majunya sebuah negara. Kemajuan itu tidak hanya dalam bidang ekonomi,
tetapi seluruh dimensi kehidupan. Adapun ciri-ciri masyarakat madani adalah
masyarakatnya cerdas, kritis, kreatif, dan inovatif; kesadaran politik mereka
tinggi; sistem politiknya demokratis; hak asasi manusia dihargai; ekonomi
bersifat kompetitif-rasional non-kapitalis yang bertumpu pada sektor domestik;
rakyatnya toleran terhadap perbedaan; kehidupan sosialnya beradab dan
bermartabat; supremasi hukum ditegakkan; tatanan sosial dan kebebasan individu
seimbang; kehidupan antargenerasi sinambung; birokrasinya empatik, bersih,
bermoral, dan pro-rakyat; sistem pendidikannya pun demokratis.
Lantas, bagaimana dengan negara
kita? Apakah negara kita sudah mencapai masyarakat madani? Menurut saya, negara
kita BELUM menunjukkan perkembangan ke arah itu. Hal ini dapat dilihat kita
lihat dalam bidang pendidikan, hukum, politik, ekonomi, dan kehidupan sosial.
Pendidikan
Pendidikan kita seharusnya
menjadi aset besar memasuki era globalisasi ini. Sayangnya, kualitas pendidikan
kita sangat memprihatinkan. Daya saing sangat rendah. The World Economic Forum
Swedia (2003) membuat survei tentang daya negara-negara di dunia. Ia
melaporkan, dari 57 negara di dunia yang disurveinya, Indonesia menduduki
posisi ke-37. Rendahnya kualitas dan daya saing ini juga terlihat pada data
Balitbang tahun yang sama (2003). Dikatakan, dari 146.052 SD di Indonesia,
ternyata hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Primary Years Program (YPY). Dari 20.918 SMP, hanya ada delapan sekolah yang
diakui dunia sebagai The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 SMU di
Indonesia hanya tujuh sekolah yang masuk kategori The Diploma Program (DP).
Ada pun beberapa masalah utama.
Pertama, sistem pendidikannya yang masih trial and error. Sistem pendidikan
kita belum terarah. Masih dalam tahap uji coba yang berkepanjangan.
Kenyataannya, lulusan sekolah kita minim pengetahuan dan keterampilan. Jumlah
murid yang masuk sekolah umum dan sekolah kejuruan tidak seimbang. Jumlah murid
SD, SMP, SMU, dan perguruan tinggi sama sekali tidak seimbang. Banyak anak yang
hanya berhenti di pendidikan dasar. Sementara masalah-masalah aktual terus
terjadi dan membutuhkan manusia yang memiliki wawasan dan sumber daya untuk
memecahkannya. UU no 2 thn 1989 dapat dijadikan acuan bagi pembangunan
nasional. Sayangnya, survivalitas manusia Indonesia masih lemah. Dalam
undang-undang ini pun, masalah-masalah pendidikan tidak dibicarakan secara
eksplisit, kecuali menyebut faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika
pendidikan, seperti tujuan pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan,
sumber daya pendidikan, kurikulum, hasil belajar dan hari libur, penilaian,
pengelolaan, dan pengawasan. Diharapkan UU no 20 tahun 2003 dapat menjadi
jawaban atas masalah kualitas pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, sistem
pendidikan kita berada dalam uji coba, trial and error, tanpa pegangan dan
arah. Contoh, untuk meningkatkan mutu, pemerintah menyusun kurikulum KBK tahun
2004, tapi saat bersamaan kurikulum yang berlaku masih kurikulum 1994.
Ketidakarahan juga tampak dalam Ujian Nasional. Undang-undang Sisdiknas baru
menetapkan UN tidak dilaksanakan. Tetapi, hingga sekarang ujian ini masih
dilaksanakan tanpa alasan yang jelas. Tahun 2006, DPR Komisi X bidang
Pendidikan mengatakan UN tidak dilaksanakan karena tidak adanya dana. Entah
kenapa, UN - bahkan hingga kini – tetap dilaksanakan dan sumber dana diambil dari
pos-pos lain sebesar Rp 260 miliar lebih.
Kedua, minimnya profesionalisme
guru. Ini dapat dilihat salah satunya dari kualifikasi akademik. Data Ditjen
PMPTK Depdiknas RI tahun 2009 menunjukkan, guru yang mengajar TK-SMU/SMK
lulusan SMU berjumlah 535.601 orang, lulusan D1 49.763 orang, lulusan D2
790.327 orang, lulusan D3 121.327 orang, lulusan S1 1.092.913 orang, S2 17.619
orang, dan S3 59 orang. Dari 2.607.311 total guru tersebut, 1.043.000 (40%)
tamat D-IV/S1 dan memiliki kualifikasi akademik, sedangkan sekitar 1.564.311
guru (60%) tidak memiliki kualifikasi.
Masih ada masalah-masalah lain
terkait kualitas pendidikan, seperti kurangnya kesejahteraan guru,
fasilitas, pemerataan kesempatan
pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biasa pendidikan,
dan alokasi APBN yang rendah (pemerintah merencanakan 20% APBN untuk
pendidikan, tetapi realisasinya sering di bawah 10%, tidak pernah 20%).
Jika kualitas pendidikan rendah, daya saing
minim, maka kreativitas, inovasi, dan kemampuan berpikir kritis pun lemah, maka
sumber daya manusia sebagai prasyarat masyarakat madani menjadi mandek.
Hukum
Supremasi
hukum di negara kita belum ditegakkan. Alasannya, faktor politik lebih dominan.
Terjadi politisasi atas proses peradilan yang mestinya berjalan objektif.
Angkat saja dua contoh: kasus Century yang menelan uang negara Rp 6,7 triliun,
atau kasus Gayus, mafia pajak seorang pejabat kecil di direktorat perpajakan
sekitar Rp 25 miliar tetapi berkomplot dengan para elit di negeri ini. Kasus Century
hingga sekarang belum selesai, kendatipun Pansus telah dibentuk untuk
menanganinya. Kasus Gayus hingga kini belum sampai pada keputusan finalnya.
Lemahnya kontrol publik dan tingginya korupsi di tingkat para elit negara,
membuat hukum dipermainkan. Gayus, kendati sudah ditahan, masih saja
berkeliaran bahkan hingga ke luar negeri, dengan menyogok petinggi rutan yang
mengawasinya dan pejabat imigran.
Politik
Indonesia telah terlepas dari
belenggu otoritarianisme Orde Baru. Tumbangnya orde ini memandai babak baru
sejarah, yakni Orde Reformasi. Akan tetapi, reformasi secara substansial belum
tampak. Yang muncul masih tahap superfisial. Contoh yang paling jelas adalah pemilu dan pembentukan KPK.
Setelah memasuki era Reformasi pemilu dilakukan secara langsung. Seharusnya
partisipasi rakyat lebih banyak karena masyarakat menyatakan langsung hak
politiknya. Yang terjadi, partisipasi justru menurun. Berbagai manipulasi di
tingkat elit negara ini membuat rakyat enggan terlibat dalam pemilu.
Tampak demokrasi kita masih
sistem yang prosedural. Belum substansial. Pasca-pemilu, pemimpin terpilih
tidak lagi peduli dengan kepentingan umum. Banyak pemimpin korupsi. Mereka
sibuk menghabiskan uang miliran rupiah ke luar negeri untuk melakukan studi
banding, sementara negeri sendiri masih ditimpa masalah kemiskinan dan bencana
alam. KPK sendiri, bentukan orde Reformasi itu, tengah dililiti perang
antarlembaga. Kita ingat perang dengan kepolisian. Banyak kasus korupsi di
tingkat para elit yang dihambat-hambat. Ini semua mengindikasikan mandeknya
demokrasi di negara kita.
Ekonomi
Ekonomi
kita dikuasai oleh para pebisnis dan elit yang pro kapitalisme (fundamentalisme
pasar). Ada dua tren utama dalam ekonomi kapitalis yang dapat kita lihat
perkembangannya di negara kita. Pertama, tata kelola perusahaan yang semakin
mengarah ke kepemilikan saham di pasar modal. Kedua, orientasi korporasi
semakin mengarah kepada orientasi finansial dan profit. Perbankan kehilangan
fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Likuiditas bertumpuk di pasar saham dan
takut berinvestasi ke sektor riil. Selain itu, apa yang disebut kebutuhan sudah
bergeser. Jika dalam ekonomi tradisional, saya membutuhkan pakaian karena saya
tidak bisa membuatnya sendiri, saya harus membelinya kepada seorang pedagang di
grosir Tanah Abang. Pakaian itu adalah hasil produksi dari pabrik garmen.
Pabrik itu mendapat benang dan kapas dari sebuah daerah di Papua yang digarap
para petani kapas. Namun, dengan berkembangnya pasar saham, perdagangan future,
petani tidak bisa lagi bisa mengontrol harga di pasar karena yang mengontrol
harga adalah kroni kapitalisme. Para pebisnis kita enggan menyentuh sektor
rill. Mereka nimbrung di pasar saham. Konsekuensinya, merger lintas sektor pun
tidak terbendung lagi dan terjadi konsentrasi kepemilikan pada konglomerat
bermodal kuat. Konglomerat bermodal kuat ini kerap disebut kroni kapitalis.
Kroni-kroni kapitalis inilah yang menuntut pasar dibebaskan dari regulasi
pemerintah. Mereka jugalah yang menuntut institusi keuangan, seperti IMF dan
Bank Dunia mendesakkan liberalisasi pasar ke negara berkembang. Liberalisasi
pasar bertujuan meningkatkan investasi dan mengatasi pengangguran. Alih-alih
ingin mengatasi pengangguran, kebijakan IMF malah memperparah masalah
pengangguran dan kemiskinan.
Kehidupan sosial
Umumnya,
kebebasan sudah terlihat. Pembelengguan dan kekerasan ala Orde Baru tampak
hilang, kecuali birokrasi kita yang lamban dan kurang responsif terhadap
persoalan bangsa. Akan tetapi, kebebasan yang kita rasakan terlalu “kebablasan”.
Kebebasan individu tinggi, sedangkan tatanan sosial melemah. Orang tidak lagi
saling menghargai. Diskusi para elit berakhir dengan saling mencemooh.
Demonstran yang menyampaikan suara berakhir dengan kekerasan. Kelompok-kelompok
fundamentalis/puritan muncul dan menindas kelompok minoritas. Rumah-rumah
ibadat agama minoritas dibakar, misalnya kasus pembakaran gereja HKBP beberapa
bulan lalu. Anarkisme dan premanisme bermunculan, misalnya dalam kasus
kekerasan di Jalan Ampera Jakarta. Di sini, perilaku para petinggi negara ini
membuat penghargaan terhadap otoritas dan tananan sosial mengalami kehilangan.
Sumber: http://ambrosleonangungedu.blogspot.com/2011/12/indonesia-sudah-mencapai-masyarakat.html
http://ingridelvina.blog.uns.ac.id/2014/10/27/makalah-masyarakat-madani/